Pandemi ini membuat hidup kami benar-benar terpuruk. Sebagai seorang single mother atau janda, saya harus mengusahakan apa pun yang saya bisa untuk pemasukan ekonomi keluarga kami.
Namun, nasib berkehendak lain, saya dipecat dari pekerjaan. Akibatnya anak saya yang sudah sekolah SMA kelas 2 harus putus sekolah. Saya seperti hilang harapan melihat kondisi ini.
Nama saya Karsia Tahir, umur saya 54 tahun. Awalnya saya menjadi Pekerja Rumah Tangga (PRT) selama 13 tahun dan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga. Namun, setelah saya mengikuti pelatihan pendamping Lanjut Usia (Lansia) yang diadakan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, akhirnya saya bisa menjadi seorang care giver.
Sampai sebelum pandemi berakhir, saya adalah seorang PRT yang fokus menjadi care giver, atau pendamping bagi majikan yang membutuhkan perhatian khusus. Saya mendampingi seorang lansia. Tugas saya yaitu memandikan majikan, menyiapkan sarapan, menyuapi dan memberikan obat-obatan bagi majikan. Dan, terkadang saya mendampingi proses pemeriksaan di rumah sakit, bahkan saya mendampingi rawat inap majikan karena keluarga majikan sering sibuk. Kalau mendampingi rawat inap di rumah sakit ini, saya mendapatkan tambahan gaji yang lumayan besar.
Sejak saya menjadi single parent, saya harus kerja ekstra mencari nafkah untuk biaya hidup membayar indekos, biaya sekolah anak, dan kebutuhan lainnya.
Pandemi ini membuat pengeluaran saya bertambah, karena harus membelikan handphone untuk anak agar bisa sekolah. Lalu saya mencicil membeli handphone dan membeli kuota belajar setiap bulannya. Namun, terpuruknya hidup kami ternyata tidak hanya sampai di situ.
Selama pandemi, akhirnya saya kehilangan pekerjaan saya karena sejak pandemi tidak ada lagi keluarga yang mebutuhkan jasa saya, karena rata-rata orang takut jika saya datang atau ada orang datang dari luar ke rumah majikan dengan membawa virus Covid-19.
Akhirnya keluarga saya terpuruk sekali setelah saya kehilangan pekerjaan, anak saya yang bersekolah di kelas 2 SMA juga harus putus sekolah karena ikut menanggung beban keluarga. Saat ini anak pertama saya membantu mencari nafkah dengan menjadi buruh bangunan, demi membeli kouta belajar adiknya atau anak kedua yang masih sekolah SMP.
Pandemi ini benar-benar menghancurkan masa depan anak saya. Saya sangat sedih tetapi apa daya, saya hanya bisa berdoa semoga pandemi ini berakhir dan nasib kami tidak seburuk saat ini.