wanitaindonesia.co – Para aktivis perempuan menuntut Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk menyelesaikan kasus kekerasan seksual di internal KPI dengan membentuk tim independen. Jika tidak ada tim independen, para aktivis ragu apakah korban akan mendapatkan keadilan disana
Para aktivis perempuan melihat, tim independen ini penting dibentuk karena posisi korban yang sangat rentan, yaitu masih menjadi pekerja di dalam Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)
Jika tim independen tidak dibentuk, para aktivis ragu korban akan mendapatkan keadilan untuk menyelesaikan kasusnya
Tuntutan para aktivis perempuan agar Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) segera menyelesaikan kasus yang menimpa salah satu pekerjanya dengan membentuk tim independen ini, disampaikan dalam konferensi pers yang dilakukan pada 4 September 2021.
Sebelumnya, para aktivis perempuan yang mengatasnamakan Masyarakat Peduli Korban Kekerasan Seksual dalam Lembaga Negara, pada Rabu, 1 September 2021 menerima sebuah pesan yang beredar di berbagai grup WhatsApp.
Adalah MS, seorang ayah satu anak yang bekerja di Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sejak tahun 2011 yang diduga telah mengalami kekerasan seksual dalam bentuk perundungan dan pelecehan seksual yang dilakukan oleh 8 (delapan) orang, yang merupakan sesama karyawan di KPI.
Dalam pernyataannya, MS telah mengalami berbagai bentuk pelecehan yang tak terhitung jumlah frekuensinya karena sering kali antara lain, pelaku melecehkan, memukul, memaki, dan merundung tanpa bisa melawan. MS hanya seorang diri sendiri sedangkan pelakunya banyak.
Perendahan martabat korban ini diduga telah dilakukan bertahun-tahun dan terus-menerus serta berulang sehingga korban tertekan dan mengalami trauma, dan secara medis termasuk dalam PTSD (Post Trauma Stress Disorder). Trauma akibat kekerasan seksual para pelaku menelanjangi dan memegangi dan mencoret-coret dengan spidol kemaluan korban, yang tak bisa dilawannya.
Korban kemudian bertahan di KPI demi gaji untuk istri, ibu, dan anaknya. Bahwa korban telah menyampaikan apa yang dialaminya, namun solusi yang diberikan, hanya dengan memindahkan ruang kerja korban, tanpa memberikan sanksi pada pelaku sehingga kekerasan dan perundungan, terus berulang.
Dian Kartikasari, aktivis perempuan dan pengacara menyatakan, sebagai salah satu lembaga independen setingkat dengan lembaga negara lainnya yang dibiayai oleh Anggaran, Pendapatan dan Belanja Negara/ APBN, maka Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) harusnya memiliki tanggungjawab dalam pekerjaannya sesuai UU No. 32 Tahun 2002 tentang penyiaran
“KPI harus memiliki visi antara lain tercantum dalam pasal 3 bahwa penyiaran diselenggarakan dengan tujuan untuk memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertaqwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil, dan sejahtera.”
Hal ini juga seturut dengan bagaimana pimpinan lembaga di KPI seharusnya dapat mewujudkan visi tersebut apabila para pekerja yang melaksanakan tugas sehari-hari di kantor KPI mendapat perlakuan tidak adil, bahkan sangat tidak berperikemanusiaan oleh sesama pekerja dalam lingkungan Komisi Penyiaran Indonesia, karena adanya relasi kuasa di dalamnya.
Hartoyo dari Perkumpulan Suara Kita menyatakan, kekerasan seksual yang terjadi di dalam tubuh KPI ini merupakan kejahatan kemanusiaan.
“Kami melihat kejadian ini tidak hanya hanya termasuk dalam kekerasan, namun juga kejahatan kemanusiaan yang terjadi di lembaga negara.”
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai salah satu lembaga negara yang lahir di masa reformasi, seharusnya bekerja dengan semangat reformasi dan mengedepankan kerja-kerja berlandaskan prinsip hak asasi manusia.
“Peristiwa yang terjadi di KPI menunjukkan terjadinya kejahatan kemanusiaan yang telah terjadi bertahun-tahun, terus berulang dan sistemik, dan tidak menunjukkan sebagai lembaga negara yang bekerja dengan prinsip hak asasi manusia,” kata Hartoyo
M. Daerobi, pengacara dari LBH APIK menyatakan, atas berbagai penderitaan yang dialami korban, serta upayanya sebagai korban dalam mengungkap kekerasan yang dialaminya, serta berbagai kekerasan yang terjadi di Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang terjadi selama bertahun-tahun, LBH APIK melihat bahwa korban kekerasan seksual tidak hanya perempuan, namun laki-laki juga bisa menjadi korban kekerasan seksual
Wiwik Afifah dari Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) menyatakan pentingnya membentuk tim independen untuk memastikan bahwa korban mendapatkan keadilan.
Sedangkan Nurul Nur Azizah, dari Aliansi Jurnalis Independen/ AJI Jakarta menyatakan bahwa peristiwa ini seperti menguak banyaknya pelecehan dan kekerasan seksual yang terjadi di media.
Masyarakat Peduli Korban Kekerasan Seksual Dalam Lembaga Negara kemudianmenyatakan akan menuntut komitmen dari Ketua dan para anggota/ Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia/ KPI memberikan jaminan keamanan, dukungan psikologis, dan kesejahteraan pada korban dan keluarganya selama proses pemulihan dan penanganan hukum atas kasus ini
“Kami meminta kepada KPI untuk membentuk tim investigasi indepeden dengan melibatkan pihak eksternal KPI, seperti Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Komnas HAM, Komnas Perempuan, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) atau LBH APIK sebagai pengacara pendamping korban dan atau saksi ahli, agar seluruh proses dilakukan secara transparan dengan tetap mengedepankan perlindungan kondisi fisik dan psikis korban,” kata Ulfa kasim dari Kapal Perempuan
Lalu meminta menonaktifkan terduga pelaku kekerasan fisik, mental dan seksual sebagai pegawai KPI selama proses penyidikan hingga selesainya proses hukum dan keadilan bagi korban.
Selama proses hukum, gambar, foto, video dan segala bentuk visualisasi yang mendokumentasikan proses dan hasil kekerasan fisik, mental dan seksual yang dilakukan oleh pelaku, harus diambil dari penguasaan pelaku dan dipastikan tidak beredar ke publik dan mendukung pendampingan bagi korban untuk pelaporan ke penegak hukum, dengan melibatkan pengacara dari YLBHI, LBH Masyarakat, LBH Jakarta, atau LBH APIK
“Lalu meminta kepada KPI agar menjamin dan membuat mekanisme pada semua komisioner dan karyawannya untuk stop melakukan kekerasan dan pelecehan seksual serta perundungan dan menuntut polisi untuk serius melakukan penyidikan kasus ini sebagai salah bentuk tindak pidana kejahatan kemanusiaan yang sistematis,” kata Budhis Utami dari Kapal Perempuan
Masyarakat Peduli Korban Kekerasan Seksual dalam Lembaga Negara yang terdiri dari kurang lebih 250 organisasi dan individu. Mereka senantiasa memantau seluruh proses hukum dan pendampingan dalam kasus ini, hingga korban dan keluarganya memperoleh keadilan.