wanitaindonesia.co – Banyak orang mengira bahwa kehidupan masyarakat adat sangat tertutup dari dunia luar. Padahal, tidak selalu begitu, kok. Mina Setra, Deputi Sekjen untuk Urusan Sosial Budaya di Aliansi Masyarakat Adat Nusantara menjelaskan, saat ini hanya sebagian kecil saja yang mengisolasi diri seperti itu. Misalnya, Baduy Dalam dan Orang Rimba. Sebagian besar anggota Masyarakat Adat sudah berbaur dengan dunia luar. Akibatnya, kehidupan mereka juga dipengaruhi oleh dunia luar, termasuk dalam berpakaian.
Demi keberlanjutan hidup masyarakat adat, muncul Gerakan Pulang Kampung yang digagas Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN). Dengan gerakan ini anak muda memanggil teman-temannya yang bersekolah dan bekerja di kota untuk pulang dan mengurus kampung. Maka, sekarang banyak anak muda dari masyarakat adat yang akhirnya pulang.
“Mereka mampu berkarya dan mendatangkan penghasilan. Misalnya, anak-anak muda Minahasa, berkebun, menanam cabai dan tomat, dua bahan pangan segar yang selalu dicari oleh penduduk sana. Sekali panen keuntungannya bisa mencapai Rp150 juta. Penghasilannya jauh lebih besar daripada bekerja di kota,” kata Mina.
Yang membanggakan, ketika pulang kampung, anak-anak muda itu tidak hanya berkebun, melainkan juga mendirikan Sekolah Adat yang jumlahnya kini sudah berkembang menjadi 82 sekolah di berbagai daerah di Indonesia.
Sekolah adat memiliki kegiatan yang berbeda dari sekolah umum. Serupa living school, mereka mengajarkan berbagai hal yang terkait adat istiadat. Siswa sekolah adat belajar tentang cara menanam dan menugal padi, aturan adat, juga tarian, makanan, dan permainan tradisional. Mereka juga belajar tentang hutan, termasuk jenis tanaman dan binatang yang hidup di hutan.
Karena sudah berbaur dengan dunia luar, maka masyarakat adat juga terbuka terhadap wisatawan. “Masyarakat adat merupakan masyarakat yang dinamis, sangat senang kedatangan tamu dari luar komunitas. Pada dasarnya, mereka punya rasa ingin tahu yang tinggi. Yang jadi persoalan justru para tamu. Tidak semua turis bisa menghargai kebudayaan dan lingkungan,” kata Mina.
Menanggapi hal tersebut, Satya bercerita, seorang teman yang ia ajak ke Kampung Adat Waerebo, Nusa Tenggara Timur, mengenakan dress super mini. “Seharusnya turis belajar tentang cara bertutur dan berperilaku, jika ingin mengunjungi kampung adat. Memang belum ada panduan tertulisnya, tapi kita bisa gunakan common sense, paling tidak memakai baju yang sopan,” kata Satya, yang selalu membawa sarung ketika bertandang ke kampung adat.
Ia mengajak masyarakat modern untuk jadi turis yang bertanggung jawab, sekaligus turis yang manusiawi. Jangan hanya datang untuk foto-foto. “Ajaklah mereka berinteraksi. Kalau mereka belum bisa berbahasa Indonesia atau kita tidak bisa berbahasa mereka, saya biasanya menggunakan bahasa tubuh. Mari tinggalkan jejak yang baik,” kata Satya, merasa prihatin dengan turis yang hanya sibuk selfie.
Satya sendiri sangat senang mengunjungi kampung-kampung adat. Salah satu insight yang ia dapatkan adalah soal slow living. “Kehidupan yang kita jalani selama ini serba cepat, sedangkan di kampung adat serba lambat. Namun, hal itu tidak mengurangi kebahagiaan mereka. Manusia dituntut untuk beradaptasi, tetapi ketika memilih untuk tidak beradaptasi dengan teknologi, ternyata tidak apa-apa, kok. Dunia mereka tidak runtuh hanya karena tidak punya handphone atau televisi. Inilah yang saya kagumi dari mereka.” (wi)