wanitaindonesia.co – Myanmar merupakan negara yang terburuk dalam indeks pembangunan kesehatan seksual dan reproduksi di kawasan Asia Pasifik. Kajian yang dilakukan Asian-Pacific Resource and Research Centre for Women (ARROW) tentang Indeks pembangunan hak seksual
dan kesehatan reproduksi (SRHR) menunjukkan, bahwa Myanmar merupakan negara
yang terburuk dalam indeks pembangunan kesehatan seksual dan reproduksi di
kawasan Asia Pasifik.
Di wilayah Asia-Pasifik, Myanmar memang sering dianggap
sebagai negara yang masih tertinggal dalam akses kesehatan dan hak-hak
perempuan. Lamanya berada dalam cengkeraman junta militer membuat Myanmar harus
membangun hak-hak perempuannya kembali.
Kajian ARROW menunjukkan rasio kematian maternal di Myanmar
merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara, yaitu pada 200 per- 100.000
kelahiran hidup. 76%
dari persalinan ibu dilakukan di rumah karena perempuan tidak mampu membayar
biaya perjalanan dan kesehatan. Penyebab
utama kematian ibu di Myanmar adalah perdarahan postpartum. Kajian ARROW juga menunjukkan
bahwa sekitar 7000 bidan diperlukan untuk mengatasi persoalan ini.
Studi ini menemukan bahwa perempuan dan anak perempuan dari negara-negara etnis dan daerah konflik menjadi lebih terpinggirkan dalam mengakses pelayanan kesehatan reproduksi seperti kesehatan ibu dan kontrasepsi.
Militerisasi serta konflik bersenjata yang sedang berlangsung di daerah perbatasan Myanmar dan daerah konflik di negara-negara etnis telah mengakibatkan tingginya tingkat kekerasan terhadap perempuan etnis, yang dilakukan oleh militer tanpa ganti rugi hukum bagi korban. Konflik di Myanmar juga membuat sulitnya akses petugas kesehatan dalam mendatangi desa-desa dimana penduduknya membutuhkan perawatan kesehatan darurat.
Studi juga menunjukkan berbagai aspek kesehatan dan hak-hak perempuan di Myanmar,
termasuk kontrasepsi, HIV dan AIDS, kewarganegaraan, dan hak-hak pernikahan,
orang-orang muda, dan hak-hak seksual dan jender minoritas.
ARROW meluncurkan studi tentang Myanmar ini dalam peringatan hari Perempuan Internasional, 8 Maret 2016 kemarin di tengah pelaksanaan Konferensi Asia Pasifik Reproduksi dan Kesehatan Seksual dan Hak (APCRSHR), yang dimulai pada tanggal 23 dari Februari 2016 di Nay Pyi Taw, Myanmar. Dalam studi ini juga disebutkan apa yang harus dilakukan pemerintah Myanmar untuk menyelesaikan persoalan ini.
Direktur Eksekutif ARROW, Sivananthi Thanenthiran menyatakan bahwa penelitian ini selanjutnya juga akan dilakukan di wilayah Timur dan Barat Myanmar. Penelitian ini merekomendasikan bahwa reformasi hukum, terutama pada kekerasan berbasis gender ini dilakukan untuk meminta pertanggungjawaban pemerintah atas komitmennya untuk persoalan hak dan kesehatan reproduksi bagi seluruh rakyat
Myanmar.