wanitaindonesia.co – Menonton film horor Asia selama seminggu membukakan mata saya, kalau sineas Asia lebih kreatif dalam membuat cerita yang bikin bulu kuduk berdiri. Sebagai seseorang yang rajin menonton film dan serial televisi, saya punya love and hate relationship dengan genre horor. Saya senang menontonnya karena membuat adrenalin terpacu, tapi paling malas kalau hantu-hantu itu berhari-hari melekat di pikiran.
Kebetulan, menonton adalah cara saya melepaskan penat setiap hari. Berhubung akhir-akhir ini bingung mau nonton apa dan sedang bosan dengan comfort show, saya menantang diri mengeksplor genre horor. Enggak tanggung-tanggung, saya yang penakut memilih horor Asia yang dianggap lebih menyeramkan daripada Barat.
Lagipula, saya penasaran, apakah cerita yang ditawarkan akan lebih relate dengan kehidupan, karena budaya dan kebiasaan orang Asia enggak jauh berbeda. Agar lebih menantang, hampir semua film ini saya tonton di malam hari.
Hari Pertama: Siksa Kubur (2012)
Di malam pertama, saya menjatuhkan pilihan pada Siksa Kubur. Alasannya sederhana, ingin pemanasan dari yang “ringan” supaya enggak langsung ketakutan. Kenyataannya, film garapan sutradara Joko Anwar ini bikin saya bersembunyi di balik jemari tangan, selama hampir 8 menit durasi.
Alur ceritanya sederhana, seorang anak masuk ke dalam peti mati ayahnya—tampaknya ia belum ikhlas dengan kepergiannya, sampai ikut terkubur hidup-hidup. Di situlah ia menyaksikan sang ayah menerima hukuman akibat perbuatannya selama hidup, yakni melakukan pembunuhan berantai.
Bagi saya, Siksa Kubur berhasil membuat jantung berdebar karena minimnya pencahayaan di sepanjang adegan, hanya dari korek api yang diandalkan si anak.
Suasana gelap itu bikin saya bolak-balik mengintip ke belakang punggungnya, mengantisipasi jika ada wajah menyeramkan muncul, dan menantikan momen sewaktu-waktu ayahnya membuka mata.
Selain itu, saratnya dialog dalam film ini membuat suasana mencekam makin terasa. Sebenarnya sudah jelas, karakternya enggak punya teman berdialog karena terjebak di dalam peti mati. Satu-satunya suara yang saya ingat, adalah rintihan sang ayah saat disiksa.
Proses penyiksaan itu menarik perhatian saya karena prosesnya tidak ditampilkan, hanya diperlihatkan tampak luar peti mati, serta terdengar suara cambukan dan rintihan. Dari situ saya menafsirkan, mungkin adegan tersebut tidak divisualisasikan lantaran tidak ada manusia yang tahu, seperti apa proses siksa kubur sebenarnya.
Pun sepanjang film saya merasa dinantikan dengan pertanggungjawaban di akhirat, atas kelakuan semasa hidup. Jangan-jangan, nanti saya diadili sampai berdarah-darah begitu?
Hari Kedua: The Eye (2002)
Kebetulan, film asal Hong Kong ini ramai dibicarakan warga Twitter dua minggu lalu, katanya paling menyeramkan di antara sekuel-sekuelnya. Oleh karena itu, saya memutuskan menonton lebih awal, tepatnya pukul lima sore. “Mumpung masih ada matahari,” pikir saya.
Ternyata alurnya mudah tertebak. Wong Kar Mun (Angelica Lee) menerima donor mata dari seseorang, dan si pendonor, Ling (Chutcha Rujinanon), memiliki indra keenam. Maka itu, ia mampu melihat makhluk halus dan memprediksi peristiwa berujung kematian.
Kebanyakan adegan dalam The Eye dilakukan di dalam ruangan, seperti rumah sakit dan kamar. Ini cukup mengusik keberanian saya, karena sibuk melindungi diri dari jumpscare. Sebetulnya, kebanyakan makhluk astral muncul dalam bentuk wajar, alias dalam rupa manusia.
Seketika ingin mengutuk si pembuat film, saat menampilkan pergerakan hantu yang paling saya benci di film horor. Mun melihat sosok perempuan di sudut ruangan, ketika sedang belajar kaligrafi di sebuah kelas. Saya pikir sosok itu hanya menampakkan diri, sampai tiba-tiba ia bergerak maju dan menyerang Mun. Benar-benar, saat itu juga jantung saya mau copot.
Namun, pada 30 menit terakhir saya bisa bernapas lega, karena rasa iba terhadap kisah Ling yang menyedihkan, mengalahkan rasa takut saya terhadap hantu. Ia sampai gantung diri akibat sering dirundung warga kampungnya, lantaran sering mengingatkan bencana yang akan terjadi dan dianggap berbahaya.
Hari Ketiga: Lantai 13 (2007)
Berhubung tayang di Netflix, saya ingin sekalian nostalgia ke masa-masa SD. Maklum, film yang dibintangi sejumlah pesohor ini cukup hits saat tayang di bioskop.
Menceritakan Luna (Widi Mulia) sebagai sekretaris baru di sebuah perusahaan, kerap menginjakkan kaki di lantai 13 gedung kantornya dan melihat banyak makhluk astral perempuan.
Terlanjur memasang ekspektasi tinggi, rasanya saya kualat sudah mengabaikan rating IMDb, hanya 4.9/10.
Saya menonton film ini pukul sebelas malam, tapi enggak ada rasa takut sama sekali, justru bosan dengan alur cerita yang ingin mempertahankan suasana horor selama 91 menit dan tidak berhasil.
Hantunya pun mengenakan pakaian kantor, dan wajahnya cuma dirias seputih mungkin. Sepertinya menurut sutradara dan tim rias, yang penting mereka terlihat seperti hantu.
Setelah berusaha menahan telunjuk supaya enggak menekan tombol back, akhirnya saya menemukan alasan untuk tetap menonton, yaitu budaya patriarki yang menjadi sumber permasalahan.
Ternyata, hantu perempuan yang berjumlah 13 sosok itu merupakan tumbal perusahaan untuk mencegah kebangkrutan. Sebagai bentuk balas dendam, salah satu dari mereka membunuh kedua petinggi perusahaan.
Yah, ini sih tipikal film horor Indonesia pada 2000-an. Ketidakberdayaan perempuan dimanfaatkan laki-laki untuk kepentingan dirinya, dan baru bisa melawan kuasa laki-laki setelah berwujud hantu. Memang enggak di mana-mana, nasib perempuan selalu dibikin miris.
Hari Keempat: 4bia (2008)
Saat mengetahui ada empat cerita di dalamnya, saya pikir film Thailand ini bisa menjadi penyegaran di antara film-film horor berdurasi panjang lainnya. Pun dari posternya saya berasumsi 4bia lebih menegangkan dari beberapa film sebelumnya.
Dugaan saya benar, plot pertama berjudul Loneliness sesuai ekspektasi. Mengisahkan Pim (Chermarn Boonyasak), seorang perempuan muda korban kecelakaan yang terjebak di apartemennya, dan berinteraksi dengan laki-laki tak dikenal lewat SMS.
Tentu sejak awal saya menduga laki-laki tersebut makhluk astral. Namun, yang tidak disangka ketika Pim mengirimkan swafoto, alih-alih melakukan hal yang sama, laki-laki tersebut justru mengirimkan foto Pim kembali.
Di adegan tersebut, seketika saya meningkatkan brightness laptop untuk melihat foto itu dengan saksama. Bulu kuduk saya berdiri, ketika melihat Pim tidak sendirian dalam swafotonya, tetapi bersama laki-laki yang adalah hantu.
Enggan langsung melanjutkan filmnya, saya yang masih degdegan menekan tombol pause dan berpikir bagaimana jika ada hantu ikutan foto dengan saya, atau laki-laki yang ditemui di aplikasi kencan bukan manusia seutuhnya. Merinding!
Hari Kelima: Coming Soon (2008)
Masih penasaran dengan film Thailand, saya mengetik “scariest Thailand horror movies” di mesin pencari, dan Coming Soon termasuk dalam daftar teratas. Setelah membaca sinopsisnya, saya semakin tergugah untuk menonton, mengingat pernah direkomendasikan oleh seorang teman di redaksi.
Di antara keempat film horor sebelumnya, Coming Soon yang pertama membuat saya berteriak sampai ditegur bapak. “Ngapain nonton sih kalau takut?” keluhnya. Kebetulan saya mengungsi ke kamar orang tua ketika menonton film ini, biar enggak terlalu takut.
Bukan hanya wajah hantunya yang menyeramkan dengan bibir sobek dan rambut berantakan, cerita di baliknya pun masih menempel di kepala sampai saya menulis artikel ini.
Dalam filmnya, aktris pemeran Chaba (Sarinrat Thomas) diceritakan meninggal gantung diri saat memerankan karakter tersebut, akibat pengaman yang digunakan saat syuting rusak. Dari situlah arwahnya memberikan kutukan ke seluruh penonton dan menyebabkan mereka mati.
Setelah menonton film ini, saya terbayang-bayang wajah Chaba yang tergantung dan hobi menyisir rambut, enggak berani ke kamar mandi tengah malam, bahkan enggak bisa langsung menonton film horor selanjutnya keesokan harinya.
Ibu saya yang saat itu nimbrung sebentar pun mengakui seramnya wajah Chaba. Padahal, biasanya ibu selalu meremehkan film horor karena menurutnya semua itu bohongan.
Bukan maksud membela diri yang penakut dengan dunia mistis, tapi setelah dipikirkan, sepertinya Coming Soon berkesan lebih menyeramkan karena saya punya cerita pribadi berkaitan gantung diri, jadi anti banget sampai sekarang.
Hari Keenam: Jelangkung (2001)
Kali ini saya penasaran dengan film garapan sutradara Rizal Mantovani, soalnya karya-karyanya kebanyakan bergenre horor, selalu melejit, dan mengangkat legenda urban di Indonesia.
Rating di IMDb cukup meyakinkan, yakni 6.6/10. Namun lagi-lagi, saya enggak mau menaruh harapan pada rating, sebelum menonton sendiri.
Eh benar saja, menurut saya penonton dibiarkan terlalu lama menantikan sosok hantu yang baru bermunculan di 40 menit terakhir, ketika hendak mencapai adegan klimaks yang enggak klimaks-klimaks amat.
Permainan jelangkungnya pun enggak terlalu intens, padahal saya kira semua pemeran utama bakal main bareng, kayak di film Hollywood kalau main papan Ouija, sedangkan ini hanya satu orang.
Belum lagi, sepanjang film saya misuh-misuh melihat kelakuan seluruh karakter; Soni (Harry Pantja) dan Ferdy (Winky Wiryawan) yang keras kepala, egois, dan sibuk menyalahkan teman-temannya. Lalu Gita (Melanie Ariyanto) yang super clingy dengan Ferdy, dan Gembol (Rony Dozer) yang asyik sendiri.
Meskipun di akhir film saya merasa cuma begitu doang, saya mau mengapresiasi para kru yang cukup totalitas menampilkan sosok-sosok hantu, yakni tuyul dan suster ngesot. Mereka dirias jauh lebih apik dan dimunculkan di saat-saat tepat, enggak seperti para hantu di Lantai 13.
Hari Ketujuh: Ju-On: The Grudge (2002)
Sebagai penutup “perjalanan spiritual” menonton film horor Asia, saya ingin membuktikan kalau Ju-On: The Grudge menakutkan, seperti ulasan kebanyakan orang.
Awalnya saya meremehkan, wong hantunya cuma anak kecil laki-laki seperti tuyul, hobinya mondar-mandir di rumah. Tapi, asumsi saya salah ketika melihat ia muncul di setiap lantai lift yang dilewati oleh seorang karakter perempuan. Ngeri juga, pikir saya, kalau sendirian di lift dan ada makhluk seperti itu.
Rupanya, sosok anak kecil itu belum seberapa dibandingkan perempuan yang jalannya merangkak. Bayangkan saja, sosoknya punya tangan dan kaki panjang, serta mata merah dan kulit pucat. Saya bergidik sendiri, membayangkan ia menuruni tangga rumah saya secara perlahan.
Untuk standar hantu Asia, struktur wajahnya, sih terhitung normal karena tidak berdarah atau berantakan. Tapi, ia kerap hadir di momen-momen sederhana yang tak terduga. Bisa-bisanya ia muncul di balik selimut, ketika seorang perempuan sedang ketakutan dan langsung menangkap sosoknya terletak di bawah kaki.
Di antara keenam film lainnya, Ju-On: The Grudge paling mengguncang iman saya, Pasalnya, setelah menonton tadi malam, saya rela tidur kedinginan dibandingkan pakai selimut. Lalu sudah membayangkan kalau ada yang ikut mengeramasi rambut saya setiap mandi.
Siang ini, saya enggak berani berdiri berhadapan dengan cermin saat mencuci tangan di kamar mandi, takut bayangan saya berubah jadi hantu perempuan berkulit mengkilap bak porselen itu.
Setelah seminggu menonton film horor Asia, saya menyimpulkan dari segi cerita, sineas Asia jauh lebih kreatif dibandingkan Barat. Itulah yang membuat film-film ini lebih menghantui pikiran penonton, setidaknya saya, dan layak diberikan kesempatan lebih besar untuk disaksikan.