wanitaindonesia.co – Umumnya, para penderita COVID-19 mengalami anosmia, atau kehilangan kemampuan penciuman total. Jika sudah sembuh, indera penciuman para penyintas COVID-19 akan perlahan-lahan kembali. Namun sebuah ulasan penelitian yang belum lama ini diterbitkan di PubMed.gov menemukan bahwa 47 persen orang yang terinfeksi COVID-19 ternyata mengalami perubahan rasa atau bau. Meski sudah dinyatakan sembuh, gejala baru long COVID-19 ini bisa bertahan selama berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan setelahnya.
Perubahan rasa atau bau ini dikenal dengan istilah parosmia, yang merupakan distorsi kemampuan penciuman (salah mempersepsikan bau). Beberapa orang dengan parosmia menggambarkan bau sehari-hari sebagai “smoky” atau bau seperti gosong yang tidak menyenangkan.
Penelitian lainnya yang diterbitkan di NCBI pada 28 Maret 2021, menemukan bahwa dalam sekelompok 195 petugas kesehatan yang terinfeksi COVID-19, sebanyak 125 orang mengalami disfungsi kemampuan mencium, dan 118 mengalami disfungsi rasa. Para peneliti menemukan bahwa 89 persen dari peserta penelitian mengalami pemulihan penuh atau sebagian dalam waktu 6 bulan dan kebanyakan dari mereka pulih sampai tingkat tertentu dalam 2 bulan pertama.
Penyebab parosmia sendiri masih belum jelas menurut para peneliti. Namun kerusakan pada epitel olfaktorius dianggap sebagai salah satu faktornya. Epitel penciuman adalah jaringan di hidung yang menerima bau untuk diproses sebagai informasi sensorik yang dapat ditafsirkan oleh otak. Ini juga berteori bahwa kerusakan pada neuron yang membawa informasi dari hidung ke otak juga berperan.
Melansir Kompas.com, dokter umum yang juga kandidat PhD bidang medical science di Kobe University Jepang, Adam Prabata menjelaskan, parosmia merupakan salah satu gejala COVID-19 yang tidak awam terlihat namun bisa berlanjut hingga setelah dinyatakan sembuh. Selain itu, Adam menjelaskan tidak tepat jika parosmia disebut efek samping dari COVID-19. Akan tetapi parosmia adalah keluhan atau konsekuensi jangka panjang jika di kasus tersebut terjadi dalam waktu lama setelah dinyatakan sembuh.
Untuk pemulihannya sendiri, menurut Adam, hingga saat ini belum ada obat atau terapi khusus yang terbukti bisa menyembuhkan gangguan penciuman, termasuk parosmia. Namun Adam menyarankan, penyintas untuk melakukan smell training dengan menggunakan bahan yang baunya menyengat, misalnya kopi atau parfum. Kemudian, jika keluhannya berlanjut dan membuat tidak nyaman padahal sudah lama sembuh dari COVID-19, disarankan untuk segera mengunjungi dokter spesialis THT.
Selain itu menghindari pemicu juga dapat membantu meminimalkan gejala. Sebuah studi yang diterbitkan di Pubmed pada Agustus 2021 menemukan bahwa kombinasi kortikosteroid oral untuk mengelola peradangan dan pelatihan penciuman dapat membantu orang yang mengalami perubahan dalam penciuman mereka setelah COVID-19. Namun, diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mendukung temuan ini. (wi)