wanitaindonesia.co – Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) pertama yang diadakan di Cirebon, Jawa Barat, akhir April 2017 lalu, banyak menyedot perhatian publik. Kongres tersebut juga mengeluarkan rekomendasi untuk berbagai isu sosial serta kebhinekaan, sebuah isu yang belakangan sedang mendapat ‘ujian’ dengan kian maraknya aksi intoleransi.
“Agama harus bisa membangun tidak hanya kesalehan pribadi, tapi juga kesalehan sosial,” tegas Musdah.
Salah satu isu sosial yang dibahas dalam KUPI adalah kekerasan berbasis gender yang masih marak dialami wanita di Indonesia, baik itu kekerasan verbal, fisik, maupun seksual. Kelompok-kelompok yang rawan terkena kekerasan dan diskriminasi adalah wanita buruh migran, orang dengan HIV/AIDS, maupun korban ketimpangan sosial seperti kemiskinan, dan konflik kemanusiaan.
Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan juga telah merilis 15 jenis kekerasan seksual, termasuk pemaksaan perkawinan, termasuk pernikahan anak. Hingga saat ini, Indonesia masih berjuang untuk meniadakan pernikahan anak, yang harus diakui, praktik ini sering kali menggunakan alasan agama sebagai pembenaran.
Pendampingan berbasis pesantren oleh ulama wanita untuk masalah-masalah sosial yang kerap dialami wanita dan anak perempuan sebenarnya sudah dilakukan di sejumlah tempat, termasuk di Pondok Pesantren Kebon Jambu Al Islamy, Babakan Ciwaringin, Cirebon, tempat dilangsungkannya KUPI.
“Kami turut mengupayakan hadirnya pendampingan berperspektif korban, agar wanita korban kekerasan tahu ke mana bisa meminta perlindungan tanpa takut dihakimi atau dianggap membuka aib,” jelas Nyai Masriyah selaku pengasuh pondok pesantren tersebut.
Sayangnya, masih ada anggapan bahwa hal ini bukanlah ranah pesantren. Padahal, menurut Musdah, memberikan pendampingan dan mendidik masyarakat merupakan bagian dari tugas pesantren sebagai lembaga pendidikan.
“Ulama perempuan bisa mulai melakukan upaya-upaya advokasi terkait isu-isu sosial lewat kelompok-kelompok kecil, contohnya di majelis taklim,” kata Musdah. Lewat majelis taklim misalnya, ulama perempuan dapat bicara bagaimana menghadapi remaja yang dalam masa pubertas, agar mereka terlindung dari kekerasan seksual dan pernikahan anak.
“Selanjutnya, mereka kemudian dapat membangun jejaring dengan LSM-LSM yang bergerak di isu sosial tertentu, karena LSM dan pesantren sebenarnya sudah biasa membangun kemitraan untuk melakukan advokasi kepada masyarakat,” saran Musdah. (wi)